Kamis, 09 Juni 2011

Surakarta, Dulu dan Kini

Gedung Wayang Orang Sriwedari - sumber : meenviro.blogspot.com
Kota Solo atau Surakarta mulai dikenal sejak perjanjian Giyanti yang membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua, yaitu keraton Kasultanan Yogyakarta dan keraton Kasunanan Surakarta. Nama Surakarta sendiri diambil ketika terjadi pemindahan kerajaan dari Keraton Kartasura menuju keraton Kasunanan Surakarta. Kota Solo kini memasuki masa suram. Sepinya pengunjung di tempat-tempat budaya seperti di Gedung Wayang Orang, Pura Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka dan berbagai tempat yang menyajikan produk-produk budaya lokal menunjukkan masyarakat lokal Solo kurang mendukung produk budaya lokal.

Produk budaya lokal tidak lagi didukung oleh pemahaman dan kesadaran publik lokal. Produk budaya Solo nampak tertatih untuk mempertahankan eksistensi di tengah masyarakat Solo. Padahal, Solo menyimpan banyak maestro seni dan budaya seperti Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S.Kar (Maestro komponis Indonesia bereputasi internasional), Gesang (Maestro Keroncong Pencipta Lagu Bengawan Solo), Iga Mawarni (Jazz), kemudian ada Blasius Subono S.Kar, M.Sn (dalang, pengrawit serta composer), dan masih banyak lagi.

Selain itu, Solo juga memiliki lembaga pendidikan seni dan budaya ter nama yaitu Institut Seni Indonesia (ISI). Solo juga menyimpan banyak bukti kreatifitas lokal tempo dulu. Dari seni tari, karawitan, wayang dan bangunan keraton yang merupakan simbol kekayaan budaya. Belakangan pemerintah mulai menyadari bahwa kepedulian masyarakat Solo terhadap budayanya sendiri mengalami titik kritis.

Berbagai event budaya dikonsep dan digelar sesuai dengan kebudayaan lokal Solo. Seperti World Heritage City (WHC) yang konsen pada warisan budaya dunia termasuk Solo, Solo International Contemporary Ethnic Music (SIEM) yang menyajikan musik tradisi etnik, Solo International Performance Art (SIPA) yang menampilkan berbagai penampilan seni tradisi dari tari hingga teater, dan Solo Batik Carnival (SBC) yang fokus pada seni batik sebagai icon kota Solo dan Indonesia melalui karnaval batiknya. Promosi keluar memang dapat dijadikan kekuatan untuk mempertahankan kebudayaan lokal dan memanfaatkan kepedulian tinggi masyarakat internasional.
Persepsi publik lokal cenderung menganggap bahwa budaya lokal Solo ini dianggap tidak modern alias ndeso. Produk budaya lokal dilihat sebelah mata. Terutama oleh generasi muda yang terjangkiti sindrom modernitas. Walaupun program budaya tidak pernah ditinggalkan sepenuhnya oleh pemerintah, namun sifatnya yang momentum dan sekunder menjadikan pemahaman budaya masyarakat Solo, pelan tapi pasti, mengalami penurunan.
Arus globalisasi dan modernisasi yang membawa model budaya baru sehingga menyebabkan dominasi budaya dan mendesak budaya yang lebih lemah yaitu budaya lokal Solo. Patut diakui juga bahwa sebagai suatu mahakarya, produk budaya menuntut keseriusan dalam memahaminya. Sehingga mungkin masyarakat tidak paham sehingga tidak bisa menikmati.

Melihat kondisi tersebut perlu adanya revitalisasi budaya yang tentunya melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, kelompok seni, sektor perdagangan, sektor industri, sektor ekonomi, dan media massa. Sebagai proses revitalisasi budaya, perlu untuk menelusuri dan mengkaji kembali kebudayaan dan produk budaya lokal, pemetaan dan identifikasi produk budaya, dan rekonstruksi unsur budaya agar dipadukan ke dalam praktek kehidupan masyarakat Solo.

Dengan demikian, diharapkan pengembangan Solo dalam konteks budaya memiliki ketahanan yang kuat dalam apresiasi terhadap produk budaya sehingga menumbuhkan kebanggan dan tanpa disadari menumbuhkan perhatian terhadap pelestarian warisan budaya lokal kota Solo oleh masyarakat lokal kota Solo sendiri. (Faka Yudhistira/D0207055)

0 komentar:

Posting Komentar